Memimpikan Rahmat

Perubahan adalah sunatullah, hukum alam yang tidak bisa ditolak. Berubah adalah kehendak tiap orang. Namun tidak semua orang berinisiatif untuk melakukan perubahan. Bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang-orang di sekitarnya. Baginya perubahan adalah makhluk mengerikan yang bila tidak dicegah justru akan memakan si pelaku perubahan itu sendiri.

Sebenarnya tidak perlu takut menghadapi perubahan. Tiap detik dan tiap hembusan nafas, tubuh dan jiwa kita berubah. Tubuh yang kita diami roh ini berganti sel setiap saat. Yang sesungguhnya kita miliki saat ini bukanlah yang kita miliki sedetik berikutnya. Umur bertambah. Materi pengisi tubuh berganti, setidaknya dalam komposisi. Begitupun kondisi jiwa, pikiran dan hati kita. Kita adalah orang yang selalu berubah.

Seperti matahari yang terus memancarkan energinya ke planet-planet di sistem tata surya, tubuh kita pun terus-menerus mengeluarkan energi yang negatif atau positif. Beruntunglah bila kita bisa memancarkan energi positif itu ke sekeliling. Menjadi manfaat bagi alam sekitar kita. Energi positif itu dalam bahasa agama kerap disebut rahmat. Orang-orang yang berada di sekitar kita bisa merasakan manfaat dari keberadaan kita. Seseorang yang jiwa dan tubuhnya menebarkan rahmat akan selalu menjadi gula dan pelita yang dijadikan rujukan oleh lingkungannya. Rahmat ini tidak selalu berupa harta benda. Ia bisa berupa wibawa, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan dan sebagainya. Ia bukan wujud fisik yang bagus, indah, gemerlap apalagi mewah. Ia ada adalah suasana batin yang mampu menembus dinding-dinding pembatas jiwa dan tembok-tembok pemisah dan mengendap pada hati orang dan mahkluk di sekitarnya.

Sangat disayangkan bila energi negatif yang keluar dari diri kita. Keberadaan tidak disukai oleh lingkungan. Tubuh dan pikiran kita seperti ditolak oleh alam. Materi yang kita belanjakan menjadi tidak mendatangkan manfaat. Banyak kerugian dan kerusakan akibat tindakan kita. sampai-sampai orang lain yang berdekatan dengan kita merasa takut dan khawatir terkena akibat dari tutur kata atau tindakan kita. Orang-orang sepert ini tidak pantas mengelus perubahan. Sayangnya perubahan itu sendiri tidak pernah pilih kasih. Ia bisa hinggap kepada pemilik energi positif tetapi juga sering mampir ke penguasa energi negatif.

Idealnya sebagai manusia, kita bisa memberikan energi positif kita ke lingkungan. Barangkali kita belum bisa mencapai tingkat rahmat seperti yang diharapkan agama. Tetapi kita masih bisa mencapai derajat mahabah dan mawadah karena hal tersebut tidak sulit dilakukan. Dalam agama derajat paling rendah sebagai bentuk kepedulian kepada hal-hal di luar kita adalah mahabbah. Inilah tingkatan dimana kita lebih menghargai penampilan fisik, keindahan ragawi dan kecantikan penampilan. Orang yang mencapai tingkat ini biasanya akan kehilangan rasa mahabbahnya bila hal yang dia puja dan hargai sudah kehilangan nilai keindahan fisiknya. Perasaan ingin memiliki dan menguasai lebih dominan daripada keinginan untuk memperbaiki, menjaga atau memuliakan hal-hal yang dipujanya. Contoh paling nyata adalah kesenangan terhadap perhiasan, cinta pemuda kepada wanita karena kecantikan dan lain-lain.

Pada level berikutnya adalah mawaddah. Pada tingkat ini kepedulian lebih penting daripada perasaan ingin memiliki. Orang yang mencapai level ini biasanya tidak lagi segan berkorban untuk kebaikan dari pihak yang dipujanya. Pengorbanan ini bahkan bisa menyebabkan yang bersangkutan kehilangan kesempatan untuk memiliki pihak yang dipujanya. Inilah derajat cinta dan peduli yang dimiliki ibu kepada anak-anaknya, guru kepada murid-muridnya, dan pemimpin yang adil kepada rakyatnya.

Powered by ScribeFire.

2 thoughts on “Memimpikan Rahmat

Tinggalkan Balasan ke Slamet Sukardi Batalkan balasan