Bapak kecewa dengan Gusti Allah?

Setahun selepas gempa hebat yang menggoyang Jogjakarta, aku bertemu dengan seorang bapak berusia 60-an tahun. Suaranya berat dengan raut wajah yang ramah dan senyum yang akrab. Gaya bicaranya ceplas-ceplos. Kami duduk berhadapan di pojokan kios kecil dan hanya dibatasi etalase kaca setinggi kira-kira 1 meter. Mula-mula percakapan kami hanya seputar produk ponsel terbaru dan soal masalah ponsel yang dimilikinya. Ia berujar ingin mengganti ponselnya dengan merek lain yang daya tangkap sinyalnya lebih bagus.

Aku ingat saat itu bulan puasa. Tiba-tiba ia bertanya,”Mas puasa tidak?”

“Ya…saya puasa.”

“Maaf ya mas…saya tidak puasa,” ucapnya terus terang sambil mengambil sebungkus rokok dari balik saku jaketnya. Di lingkungan pasar tempat kios kami berada adalah jamak melihat orang-orang yang tidak berpuasa meskipun saat itu bulan Ramadan. Mbok-mbok bakul, pembeli, atau tukang-tukang becak dan tukang ojek sering terlihat menyeruput es teh di siang hari meskipun banyak pula yang tetap menjaga puasanya.

“Lagi tidak sehat ya Pak?” kataku balik bertanya meskipun. Aku agak ragu-ragu dengan pertanyaaku tadi apalagi kondisi lawan bicaraku yang tidak menampakkan ciri-ciri orang yang sedang sakit. Ia tampak segar bugar. Hanya sorot matanya yang kelihatan berat. Ada segumpal masalah yang mengendap di sekitar tatapannya.

”Saya lagi tidak puasa mas. Tahun kemarin saya kehilangan istri dan dua anak saya karena gempa di Jogja, mas.” Kali ini nadanya berat. Pandangannya kemudian dibuang jauh ke jalan raya di depan kios yang saat itu ramai oleh lalu lintas kendaraan. Mulutnya lantas menghisap rokok yang sudah menyala dan menghembuskan asapnya dengan hentakan yang juga berat.

”Bapak kecewa dengan Gusti Allah?” kali ini saya yang bertanya. Pembaca, sungguh saya agak terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulut saya itu. Saya belum kenal dengan si Bapak dan baru beberapa menit bercakap-cakap kok tiba-tiba saya berlagak seperti psikolog atau ustadz yang siap memberi nasihat. Padahal saat itupun saya sebenarnya butuh banyak nasihat karena sedang mengalami masa-masa disorientasi yang melelahkan.

Pertanyaanku tadi rupanya langsung masuk ke benak si Bapak. Dia tak menjawab. Tapi tingkahnya menunjukkan ia sadar dan paham maksud pertanyaaku. Benar sekali, ia tidak nyaman dengan pertanyaan tadi.

”Itu sebenarnya tergantung bagaimana kita memandang peristiwa tersebut, pak.” Aku kembali berujar. Ucapanku ini kembali menohoknya. Sikap si Bapak jadi makin gelisah. Sempat sejenak mata kami saling beradu. Sepertinya ia tengah menyelidiki siapa dan apa maksud sesungguhnya ucapan lawan bicaranya. Ah…aku cukup lega. Kulihat tak ada getar amarah dari sorot matanya. Bagaimana pun sempat terbersit kekhawatiran kalau-kalau si Bapak tersinggung dengan ucapanku. Bisa saja ia marah dan dan menggebrak etalase di depannya. Si Bapak kemudian menunduk dan mengalihkan pandangannya ke etalase. Ia segera mengalihkan topik pembicaan.

”Saya beli yang ini saja mas,” katanya sembari menyerahkan beberapa lembar rupiah sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Senyum yang getir.

”Kalau ada tidak berfungsi, bawa kesini lagi aja Pak. Nanti diganti,” balasku sambil menyerahkan barang yang dimaksud. Ia kemudian pamit dan berlalu. Saya masih melihat punggungnya menjauh dan kemudian hilang terhimpit keramaian pasar.

Percakapan yang tak lebih dari seperempat jam itu cukup membekas di memori kepalaku. Si Bapak yang tak kukenal namanya adalah orang pertama korban gempa Jogja yang kutemui. Selama ini kisah-kisah korban gempa hanya aku temui dari siaran televisi atau berita surat kabar. Tak pernah kudengar keluh kesah langsung dari si korban yang kehilangan sanak keluarganya.

Malam minggu lalu, memori memutar kembali fragmen pertemuanku dengan si Bapak. Kali ini bukan karena adanya gempa di Sumatera Barat atau di Ujung Kulon yang membuat panik orang-orang Jakarta. Di ruang tamu rumah Pak Budi Yuwono, praktisi kecerdasan spiritual, aku mengingat-ingat hal-hal sulit yang pernah aku temui. Juga pertemuanku dengan si Bapak asal Jogja tadi.

Pak Budi mengutip tentang kemudahan dan kesulitan yang akan selalu menjadi bagian dari hidup manusia. Ia menunjukkan terjemahan surat Al Insyiraah.

”Karena sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan kemudian. Maka bila telah selesai (suatu urusan), kerjakalah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

”Kesulitan dan kemudahan itu satu paket,” kata Pak Budi. Semua yang hadir di sana mengangguk-angguk. Saya lantas teringat dengan Kiai Muhammad Nurhaq yang pernah aku temui di Demak, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Saat itu pak Kiai memberi secarik kertas dan memintaku membacanya. Ah…rupanya surat Al Insyiraah seperti yang diterangkan Pak Budi.

Ketika aku tulis catatan ini, wajah si Bapak yang tidak bisa aku ingat seluruh detil rautnya kembali terbayang. Seperti adegan klip video, fragmen itu tergambar lagi di otakku. Ya…kesulitan itu satu paket dengan kemudahan. Karena itu siapa saja yang tengah bergelimang dengan kemudahan, bersiap-siaplah akan datangnya kesulitan. Demikian pula yang tengah dirundung kesusahan, yakinlah akan menyusulnya kemudahan.

Wajah si Bapak lagi-lagi terbayang. Dimana pun engkau…semoga kemudahan itu sudah menghampirimu. Dan jangan pernah lagi kecewa dengan takdir Tuhan.