Sajak Nestapa

“Sudah 10 tahun pak,” ucap Atmo.
Aku masih termenung menatap gundukan tanah itu
“Dulu rumah Bapak ada di sana,” lanjutnya.

Hari ini aku kembali
Ke masa ketika tak ada resah atau gulana
Tatkala kita sama-sama tertawa
Memotong rumput untuk sapi dan ternak kambing kita
Ah…sepuluh tahun rupanya bukan waktu yang lama
Untuk menghilangkan memori atau mengecilkannya
Kinipun hijaunya ilalang pun masih sama
Bau segar tanah merah itu pun tak berbeda
Tak berubah
Hanya jasad kita yang menua

Sepuluh tahun bu, sepuluh tahun pak
Aku  masih mengingat getir-getir itu
Kala bumi marah dan menggoyang rumah kita
Meninggalkan air mata dan nestapa
Yang bahkan kita tak bisa melupakannya
saat-saat kita lupa bersyukur
pada nikmat-Nya

Seperti Chairil Anwar

DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Apa yang anda rasakan bila membaca sajak di atas. Itulah salah satu karya penyair Chairil Anwar yang paling sering dibacakan dalam pertunjukkan, selain puisi Aku dan Diponegoro. Lewat bahasa sederhana dan mudah dimengerti, Chairil Anwar menggambarkan situasi kejiwaan yang tidak bisa lagi mengabaikan keberadaan dan kuasa Tuhan dalam hidup-Nya. Chairil Anwar ketika menciptakan sajak ini rupanya menyadari kekeliruannya karena “mengembara ke negeri asing” yang bisa ditafsirkan sebagai tempat yang asing baginya atau ideologi dan pemikiran yang jauh dari Tuhan. Alam pemikiran Chairil Anwar pada 1947, ketika puisi ini ditulis, tampaknya diwarnai bertaburnya aneka ideologi yang masing-masing mencoba menonjolkan diri dan mencari pengikut menghadapi satu musuh bersama : Belanda. Keberadaan mereka tercermin dari beragamnya corak ideologi laskar-laskar perlawanan, partai-partai politik, kaum intelektual, bahkan seniman dan budayawan.

Chairil Anwar rupanya merasa lelah dan akhirnya menyerah dalam pergulatan  tersebut (aku hilang bentuk // remuk). Ia memilih datang ke rumah Tuhan yang dengan apik disebutnya dengan kalimat di pintuMu aku mengetuk. Dengan satu kalimat penghujung aku tidak bisa berpaling, Chairil menegaskan keberpihakannya pada jalan yang ia pilih. Jalan Tuhan.