Pecel Lele Pret Ciken

Foto ini diambil 7 tahun lalu pada 2013. Itu adalah awal ketika aku dan seorang rekan memulai bisnis kuliner di Kalibata City. Bisnis yang betul-betul dimulai dari angka 0. Bahkan aku dan rekanku saat itu tak tahu cara memasak sama sekali. Nol besar.

Tapi itulah usaha. Modalnya semangat optimisme dan sedikit ilmu bagaimana mengelola bisnis. Alhasil bisnis ini merugi hingga 4 bulan kemudian. Bulan ke 5 alhamdulillah bisa balik modal.

Tapi itu cerita dulu. Saat ini aku sudah mundur dari bisnis bernama Pret Ciken itu. Aku serahkan rekanku untuk melanjutkan. Aku sendiri memilih pulang kampung karena sepeninggal Bapak, ibuku tinggal sendiri. Tak elok bila aku egois mengejar dunia dan membiarkan ibuku sendiri dan kondisinya tidak sehat. Lalu aku membuka usaha di kampung halamanku dengan nama Dapur Pret Ciken. (sns)

Tentang Buku Biografi itu

Tahun 2008 – 2011 lalu, saya mendapat tugas untuk menyusun buku biografi Waqif sekaligus salah seorang pendiri Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta Selatan, almarhum KH Abdul Manaf Muhayyar. Saya tidak mengenalnya secara pribadi. Bahkan saya tidak pernah berjumpa denganya. Saat mendapat tugas (lebih tepatnya pekerjaan) dari pimpinan Pesantren Darunnajah saat ini, KH Sofwan Manaf, pada 2008 lalu, saya baru mengenal pesantren tersebut beberapa bulan sebelumnya. Dan figur yang akan saya tulis sudah meninggal tiga tahun sebelumnya.

Saya terima pekerjaan itu karena selain membutuhkan uang (saat itu saya bekerja freelance), juga melihat tantangan bahwa menulis biografi adalah hal baru bagi saya. Saya sebelumnya adalah seorang jurnalis media cetak. Tentu menulis untuk media cetak (koran/tabloid) berbeda dengan menulis sebuah buku biografi.

Setelah melalui berpuluh wawancara, ratusan lembar buku dan artis, serta perjalanan ke beberapa tempat untuk menemui narasumber, akhirnya saya serahkan naskah draft biografi itu pada akhir 2010. Lebih kurang dua tahun saya menyusunnya.

Mengapa begitu lama? Di sinilah saya baru paham kesulitan utama menyusun buku biografi. Apalagi figur yang akan ditulis adalah orang yang sudah meninggal. Banyak sekali informasi yang saya harus timbang dan bandingkan sebelum menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Dan memang selama penulisan tersebut, beberapa hal terkait kisah hidup almarhum menimbulkan beda pendapat di antara kerabat dan ahli waris, murid dan rekan-rekannya. Inilah hal yang paling sulit saya rasakan sebagai penulis. Saya tidak ingin menulis sejarah hidup seseorang dari sudut pandang satu pihak saja. Saya ingin kisah hidup seseorang adalah bagian utuh dari proses dirinya menjadi manusia. Pasti ada cerita pahit getir, suka duka, dan tentu saja pro dan kontra.

Begitu pula menyikapi beda pendapat dan konflik yang terjadi dalam sejarah pondok pesantren yang dipimpinnya, coba saya tuangkan senetral mungkin agar diperoleh gambaran utuh tentang pergulatan pemikiran dan situasi saat konflik terjadi. Pembaca akan diajak memahami tarik ulur kepentingan, sudut pandang beberapa pihak, hingga cara dan bagaimana sebuah keputusan atau tindakan diambil.

Bagian inilah yang paling menguras energi. Saya harus betul-betul teliti dan membaca berkali-kali agar sebagai penulis saya tidak memposisikan diri saya sebagai pengagum atau pembenci objek yang saya tulis. Saya memposisikan diri sebagai orang luar yang menulis sejarah secara objektif.

Inilah barangkali hal paling penting yang saya peroleh dari pengalaman menyusun biografi. Bekerja sebagai pihak yang netral, tak terlibat kepentingan, objektif dan fair, semua hal yang diajarkan dalam ilmu jurnalistik, saya terapkan dalam penulisan buku ini.

Akhirnya setelah beberapa tahun dengan tambahan beberapa penulis pendukung, buku biografi tersebut dicetak pada 2014 lalu.

Masjid Bernuansa Tionghoa di Bandung

Saya beberapa kali ke Bandung. Namun kunjungan terakhir ini yang berkesan. Saat waktu salat magrib tiba, setelah berbuka puasa, saya bermaksud pulang ke penginapan di Jalan Braga. Saat berjalan menyusuri Jalan ABC, saya melihat masjid yang bernuansa beda dari umumnya bangunan masjid di Indonesia.

Itulah masjid Al Imtizaj Pembauran Ronghe. Demikian nama itu saya kutip dari tulisan yang tertempel di dindingnya. Arsitektur, bentuk, warna, dan ornamen mengesankan saya pada bangunan khas di darata Cina. Semula saya kira itu klenteng atau vihara Tridharma, namun saya baru yakin kalau yang saya temui masjid karena ada tulisan dan melihat orang salat di dalamnya.

Masjid ini menyatu dan menjadi sayap kiri dari Abdurrahman bin Auf Trade Center yang tampaknya tidak beroperasi lagi. Ia tampak beda karena tetap terpelihara dan berfungsi. Saya sendiri tidak tahu apa arti dari istilah Pembauran Ronghe. Mungkin semacam nama marga atau keluarga dari etnis Tionghoa yang membangun masjid itu.

Yang jelas, memasuki masjid kita disambut gapura warna merah menyala dengan atapnya berupa kubah kecil. Interior masjid juga didominasi warna merah menyala dan warna coklat kayu. Ada juga beberapa lampion merah tergantung di langit-langit masjid. Dinding masjid dihiasi kaligrafi berbentuk segi empat yang tersusun dari empat kata Allah dalam huruf Arab. Sungguh suasana masjid yang berbeda bagi muslim seperti saya. Mungkin juga bagi sebagian besar warga Indonesia.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

SUKARNO go INTERNATIONAL! by Damn! I love Indonesia

Saya pernah melihat video sambutan rakyat di Jakarta ketika Presiden Sukarno kembali dari Jogjakarta usai pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda. Betapa rakyat mengelu-elukan pemimpin yang dicintainya. Begitu besar kecintaan dan kekaguman mereka kepada pemimpin bangsa yang bersama-sama penjuang menyatukan dan memerdekakan Indonesia.

Namun lebih terperangah lagi, saya melihat video berikut ini. Rupanya di luar negeri pun, Sukarno disambut dengan gegap gempita. Bahkan di New York, di Moskow, di Hanoi dan di negara-negara lain. Sambutan rakyat di sana lebih dari pemimpin mereka sendiri. Merinding melihatnya.

Journalist on Duty

An Jakarta-based TV station news program shows how a reporter covers Jakarta’s flood in mid of January. The water level indicates how deep is the flood affected the capital city which is also to be national attention across the country.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ojek Sepeda

Today I visited Glodok. Last time I being there was when I accompanied Mita buying DVDs almost five years ago. Nothing changes. At least that’s what I saw at the location. Pirated DVD vendors, crowded traffic jam, and hot and dusted air are amongs I can remember.

A moment at Barelang Bridge

Wuyung

Tiba-tiba saja saya ingin mencari tahu arti kata “wuyung”, istilah yang sering saya dengar dari vokal penyanyi Didi Kempot. Maklumlah, lagu-lagu Didi Kempot ada di daftar lagu dalam perangkat Blackberry saya. Salah satu lagu yang saya suka berjudul Wuyung.

Dari hasil googling ternyata saya baru tahu kata wuyung artinya jatuh cinta atau kasmaran. Syair selengkapnya ada di bawah ini :

Laraning lara
Ora kaya wong kang nandhang wuyung
Mangan ra doyan
Ra jenak dolan nèng omah bingung

Mung kudu weruh
woting ati duh kusuma ayu
Apa ra trenyuh
sawangen iki awakku sing kuru

Klapa mudha leganana nggonku nandhang branta
Witing pari dimèn mari nggonku lara ati
Aduh nyawa

Duh duh kusuma
Pa ra krasa apa pancen téga
Mbok mbalung janur
Paring usada mring kang nandhang wuyung

Barangkali banyak yang penasaran dengan arti dari syair lagu tersebut. Nah saya kebetulan lagi malas menulis, jadi saya akan copas (copy paste) saja dari artikel di blog Sukadi.net

Sakitnya sakit
tidak seperti orang yang sedang jatuh cinta
makan (terasa) tidak enak
ndak enak main/jalan2 (tetapi) dirumah (malah) bingung

hanya ingin melihat (trus-trusan)
(wot=tempat menyebrang diatas parit/sungai biasanya terbuat dari bambu/kayu (jembatan kecil), woting kependekan dari wot ing) tambatan hati duhai bunga yang cantik
apa tidak kasihan
lihatlah badanku yang kurus ini

(klapa muda=degan, maksudnya leganono=legakan) legakan perasaanku yang sedang kasmaran
(witing pari= damen maksudnya dimen mari=biar sembuh) biar sembuh sakit hatiku
aduh nyawa

wahai bunga (bunga bisa diartikan cewek yang menarik hati)
apa memang ndak terasa atau memang membiarkan
(balung janur=soddo/lidi maksudnya usada=obat)
memberi/berilah obat kepada yang lagi kasmaran.

Yang ingin dengar iramanya bisa lihat langsung videonya di bawah ini. Sayang, saya tidak menemukan versi lagu yang dinyanyikan Didi Kempot di Youtube.